Melihat Sumatera Dari Lintas Tengah

(Jakarta – Medan Menyetir Sendiri)

Oleh:  Maridup Hutauruk

 

Setir Sendiri 

Sudah sekitar dua tahun penulis tidak melintasi Jalur Lintas Sumatera dimana selama tiga tahun sebelumnya selalu dilintasi tiga atau empat kali per tahun baik Lintas Timur, Lintas Tengah, Lintas Barat. Banyak melihat menjadi banyak tau, mungkin menjadi salah satu motivasi sehingga penulis lebih menikmati perjalanan yang selalu dilakukan berulang kali bahkan sudah puluhan kali dilakukan.

 Kebetulan masa liburan sekolah maka kali ini penulis bersama istri dan dua anak terkecil berniat melintasi Lintas Tengah Pulau Sumatera. Cukup seorang diri saja yang menyetir dalam menempuh perjalanan hampir 2.500 Km itu. Tak ada yang perlu dikawatirkan, walau biasanya perjalanan seperti ini selalu didampingi oleh teman atau supir untuk bergantian melintasi Pulau Sumatera ini. Tak apalah, sebelumnya sudah pernah dua kali perjalanan hanya disupiri sendiri, mengapa pula kali ini tidak! Lagi pula perjalanan ini bersifat privasi bersama istri dan anak-anak. 

Mobil Kia Pregio tahun 2005 sudah cukup luas dan leluasa untuk perjalanan jauh ini. Jog dibelakang supir yang terdepan diputar balik berhadapan dengan jog tengah saling berhadapan dan jadilah ruang yang cukup luas untuk dua anak SD leluasa bermain sambil menikmati perjalanan. Jog paling belakang dilipat agar lebih luas diisi dengan barang-barang bawaan. Mesin diesel 2.700 CC dengan AC Double Blower, suspensi empuk, walau tidak sekencang atau selicah mobil van lainnya tetapi sangat reliable untuk perjalanan ini. 

Persiapan sudah matang, tangki solar terisi penuh, barang-barang bawaan sudah on board. Tekanan angin ban dan kondisinya, ban serap – checked, Wiper depan dan belakang – checked, kesiapan tools ala kadarnya seperti kunci roda, dongkrak, lampu senter – checked. Beberapa botol besar air mineral berguna untuk minum atau untuk mencuci windshield plus sabun colek agar setiap saat kaca depan tetap cemerlang dan bila setiap saat turun hujan tidak menjadi buram karena pengembunan. Siiiippplah persiapannya. 

Memulai Perjalanan 

Tepat Rabu 22 Juni 2011 jam 22:30 WIB kami bergerak perlahan meninggalkan rumah dari Kalisari Jakarta Timur. Masuk akses Tol Cawang-Grogol berjalan lancar sampai menjelang akses Tangerang sudah dihambat kemacetan panjang oleh sejumlah truk yang memang pada siang harinya dilarang memasuki Tol Dalam Kota Jakarta.  Semua kendaraan sekitar satu kilometer panjangnya merangkak menaiki fly-over akses Tol Tangerang. 

Perjalanan Jakarta-Merak melalui tol ini dirasa cukup menjengkelkan. Banyak perbaikan jalan yang membuat kemacetan panjang di banyak titik perbaikan sepanjang Jakarta-Merak. Sepertinya pihak pemborong jalan kurang memperhatikan kepentingan dan kenyamanan pengguna jalan tol. Rasanya tak mungkin mereka tidak tau mencari metode yang menguntungkan semua pihak. Perbaikan yang dilakukan di sembarang jalur membuat laju kendaraan menjadi lebih banyak macetnya daripada lancarnya. 

Perjalanan Jakarta-Merak yang biasanya mampu dicapai dalam dua jam ternyata harus ditempuh selama lebih dari empat jam, sungguh pemborosan BBM yang mubazir. Setelah menunggu sekitar lima belas menit untuk masuk ferry, tepat jam 03:00 WIB Kamis 23 Juni 2011, kami sudah berada di Ferry menuju Bakauheni. Sekitar setengah jam Kapal Roro ini memuat berbagai kendaraan maka tepat jam 03:30 WIB kapal membunyikan tanda angkat jangkar dan mulailah menyusuri Selat sunda selama kira-kira dua setengah jam pelayaran. 

Hari masih subuh sewaktu kami keluar dari Kapal Roro di Pelabuhan Bakauheni. Pagi itu perjalanan dilangsungkan menyusuri Jalan Lintas Sumatera. Kilometer perjalanan baru menunjukkan 184 Km ketika kami mampir untuk makan di RM Siang Malam di Lampung Selatan. Jam menunjukkan 07:45 WIB pada Kamis 23 Juni 2011. Menu makanan dengan lauk udang goreng, sate, ayam goreng, ayam gule plus gado-gado cukup enak disantap dengan nasi pulen. Harga makanan cukup wajar dan tidak mahal. 

Setelah makan dan istirahat sekitar empat puluh lima menit di RM Siang Malam di Lampung Selatan, sekitar jam 08:32 kami meneruskan perjalanan dengan santai.  Sepanjang perjalanan pagi itu sudah mulai terlihat pemandangan yang tidak terpikirkan sebelumnya yaitu antrian panjang kendaraan disetiap Stasiun Pengisian BBM. Awalnya kami tidak mengkhawatirkan tentang antrian ini dan dianggap karena kemungkinan saat bersamaan saja kendaraan-kendaraan itu perlu mengisi BBM. 

Indikator BBM di mobil sudah menunjukkan garis tengah yang artinya dua grade diatas garis rest stock BBM di dalam tangki. Biasanya penulis terbiasa mengisi tangki BBM mobil sampai full-tank dengan maksud agar tangki tidak mengalami pengkaratan di dalamnya. Untuk mobil yang kami kemudi berbahan bakar Solar sebaiknya mengisi BBM jangan pada saat indicator menunjukkan garis rest dengan alasan untuk mencegah fuel-pump tidak kemasukan angin yang dapat mengakibatkan kendaraan ngadat dan bahkan mogok, apalagi pada kondisi jalan yang naik turun yang memungkinkan kemiringan jalan mengakibatkan pompa bahan bakar ini masuk angin. 

Untuk amannya BBM semestinya diisi, tetapi setiap SPBU (Stasiun Pengisian BBM Umum) selalu antri panjang. Harapan masih ada untuk pengisian di SPBU lainnya. Indikator BBM hanya tinggal satu gade diatas garis rest, sementara SPBU yang dilalui semuanya mengalami antrian panjang dan bahkan tutup karena tak ada stock. Di SPBU Batu Raja pada Odometer sudah menunjukkan perjalanan sejauh 529 Km. Posisi indicator sudah mendekati rest ketika kesempatan ini dianggap sebagai keberuntungan mengisi BBM walau hanya dijatah maksimal hanya senilai Rp 150.000 (33,33 liter) saja. Ketika petugas SPBU ditanya mengenai suasana antrian, diperoleh jawaban bahwa kelangkaan BBM ini sebenarnya sudah berlangsung lama sekitar dua bulanan, katanya. 

Setelah istirahat sebentar di Baturaja, perjalanan dilanjutkan menuju Muara Enim. Setelah menempuh perjalanan sejauh 145 Km dari Batu Raja dan tiba di Muara Enim jam 01:00 WIB hari Jumat 24 Juni 2011. Mampir dan beristirahat di depan sebuah Rumah Makan.  Rumah makan terlihat sepi dan tidak ada pengunjung tetapi suasana cukup terang dan cocok untuk istirahat tidur di dalam mobil dengan nyenyak sambil tak lupa membuka sedikit kaca depan kiri dan kanan. Lumayan pulas tidurnya di jog depan yang direbahkan. 

Pada pukul 04:00 WIB hari Jumat 24 Juni 2011 setelah istirahat tidur selama tiga jam. Odometer menunjukkan angka 674 Km ketika tiba di Muara Enim. Perjalanan menuju Lahat cukup menyenangkan. Jalan yang dulunya rusak parah dua tahun lalu, saat ini sudah mulus dan diperlebar. Lahat dilalui dengan nyaman, Tebing Tinggi dilalui dengan lancar walau kondisi jalan masih tetap seperti dulu yang belum di perlebar. Sepanjang perjalanan ini ada terlihat perkembangan pertumbuhan masyarakatnya. Rumah-rumah disepanjang jalan semakin banyak. 

Istirahat mandi, makan dan membersihkan kaca-kaca mobil di RM Fitria di Kikim Barat. Odometer menunjukkan perjalanan sudah ditempuh sejauh 786 Km. Mandi di kamar mandi yang kotor dan berbau, makan dengan resep menu yang kurang pas memang menjadi pengalaman yang wajar. Banyak para pekerja kontraktor yang terlihat di RM ini. Banyak juga kerumunan orang yang sedang menunggu kedatangan Bis Antar Lintas. Terdengar suara agen-agen bis yang memanggil orang-orang yang bertujuan ke Lampung, Jakarta, bahkan ada juga yang ingin menuju ke Jogja. 

Selesai istirahat di RM Fitria di Kikim Barat ini, perjalanan dilanjutkan. Jam menunjukkan 07:50 pada hari Jumat 24 Juni 2011. Tebing Tinggi dilalui, Muara Beliti dilalui, Lubuk Linggau dilalui, dan pengisian BBM Solar baru ditemui di Pelawan. Setelah lolos dari antrian BBM, pengisian Solar full-tank Rp 210.000 (46,66 liter) pada Odometer tertera angka 1.016 Km. Setelah makan soto ayam lalu tidur sekitar satu jam di saung yang disediakan oleh pihak SPBU. Perasaan lega melanjutkan perjalanan karena takut terperangkap antrian menunggu supply kedatangan BBM di SPBU seperti yang dialami oleh antrian panjang kendaraan di setiap SPBU yang terlihat sepanjang perjalanan. 

Di daerah Sorolangun-Bangko, kami mengambil kesempatan istirahat di sebuah gubuk saung pinggir jalan yang biasanya digunakan penduduk setempat untuk berjualan buah hasil buminya. Kebetulan saung ini dalam keadaan kosong dan cukup aman untuk parkir mobil. Berkesempatan memasak air untuk seduh kopi. Kompor portable dengan gas botol ukuran aerosol. Cukup praktis dan menikmati kopi sambil memakan nasi bungkus yang sebelumnya sudah dibeli di Sorolangun karena saat itu masih relative pagi. Selesai istirahat, jam menunjukkan pukul 14:40 dan Odometer sudah menunjukkan  perjalanan sudah sejauh 1.142 Km.

Bangko dilewati, Muara Bungo dilewati, Kiliranjao dilewati. Perjalanan didaerah ini dapat dilalui dengan top-speed. Kebetulan Kia-Pregio hanya mampu dipacu pada kecepatan 110 Km/jam saja dengan tidak memaksa mesin bekerja keras. Sekitar 70 Km sebelum Solok, berkesempatan mengisi Solar di SPBU yang sudah selesai dari antrian. Solar diisi Rp 150.000 ( 33,33 liter) pada Odometer menunjukkan jauh perjalanan sudah 1.353 Km. Setelah menempuh perjalanan lanjutan sejauh  160 Km melewati Solok, Singkarak,  kemudian beristirahat di SPBU di Padang Panjang yang sedang menunggu pasokan BBM. Jam menunjukkan pukul 23:00 WIB. Mengambil parkir di sebuah pojok strategis di SPBU, demikian juga beberapa pengemudi lainnya baik mobil pribadi maupun truk melakukan hal yang sama untuk beristirahat. Istirahat dan tidur selama lima jam. 

Beberapa menit sebelum Jam 04:00 WIB subuh hari Sabtu 25 Juni 2011 mesin mobil dipanaskan. Odometer menunjukkan angka 1.513 Km sewaktu meninggalkan SPBU di Padang Panjang ini. Tidak ada pengisian Solar di SPBU ini karena tangki masih berisi solar yang cukup melanjutkan perjalanan. Perjalanan berlanjut menuju Bukit Tinggi. Setelah Bukit Tinggi dilalui, Bonjol dilewati, Lubuk Sikaping dilampaui, Panti dilewati, kemudian Rao sebagai batas antara Sumbar dan Sumut dilewati. 

Sepanjang pengamatan penulis melakukan perjalanan di tiga jalur Lintas Sumatera, maka selama enam tahun terakhir ada terlihat geliat perubahan pembangunan oleh rakyat disepanjang Lintas Tengah Sumatera. Menyusuri beberapa propinsi seperti Lampung, Sumatera Selatan, Jambi, Sumatera Barat, maka rumah-rumah disepanjang lintas tersebut telah mengalami perbaikan. Ada pertambahan rumah baru, sedikitnya melakukan renovasi dan pengecatan sehingga terlihat relative bersih dan rapih ceria. Hal ini menunjukkan adanya indikasi perekonomian rakyat disepanjang lintas tersebut meningkat. 

Perbatasan Sumatera Barat – Sumatera Utara terlewati, maka perjalanan mulailah memasuki Wilayah Tanah Batak di Sumatera Utara. Mulai Muara Sipongi, Kota Nopan, Penyabungan, terlihat rumah-rumah disepanjang jalan lintas tersebut sepertinya sudah berpuluh tahun tidak mengalami perubahan yang berarti. Ada kekumuhan, ada ketidak teraturan, ada kemiskinan, dan intinya ada keprihatinan. Begitu kontras perbedaannya dengan daerah-daerah di Propinsi yang sudah dilalui sebelumnya. Tidak terlihat perekonomian rakyat di perbatasan wilayah Tanah Batak ini kearah yang lebih baik. Apa penyebabnya? Apakah Pemda-nya tidak mendapat dukungan dana? Apakah Pemdanya tidak mampu meningkatkan pertumbuhan rakyatnya? Apakah rakyatnya yang tidak mampu mengambil kesempatan untuk bertumbuh? Atau memang tidak ada suasana yang kondusif didaerahnya untuk bertumbuh? Banyak pertanyaan tak terjawab ! 

Setelah menyusuri daerah Penyabungan, kemudian mampir di Lia Garden untuk beristirahat dan makan. Lia Garden di Penyabungan ini sepertinya menjadi favorit penulis untuk melepas lelah apalagi bila membawa keluarga. Ini yang ketiga kalinya mampir di Lia Garden yang memang dikelola secara professional.  Porsi yang lengkap untuk Kota Penyabungan memiliki Lia Garden sebagai Taman bermain anak-anak, Rumah Makan, Kolam Renang. Bersih dan tertata rapih dan harga makanan yang wajar cukup mewakili untuk bersantai dan melepas lelah. 

Bunga-bunga beraneka warna mengitari saung-saung lesehan. Ada juga meja dan kursi makan dibawah payung-fantasi. Ada pula deretan meja dan kursi untuk makan ala restoran. Ada pula meja kursi dibawah naungan rindangnya pohon. Posisi ruang masak yang luas di bagian depan memperlihatkan keaktifan jurumasak dan pelayan yang sopan-sopan. Dapur-kotor dibagian belakang tertata rapih dan bersih. Beberapa perangkat mainan anak seperti ayunan sentrifugal, ayunan putar, ayunan sampan, dan jenis lainnya, belum lagi kolam renangnya yang bersih, terutama kamar kecil yang bersih dan tidak menjijikkan. Lengkaplah kelelahan lepas dan santai bila beristirahat di Lia Garden di kota kecil Penyabungan ini. 

Perjalanan dilanjutkan dari Lia Gerden di Jalan Lidang Penyabungan pada saat Odometer menunjukkan 1.757 Km. Perjalanan menuju Padang Sidempuan yang berjarak sekitar 70 Km melalui jalan yang kurang baik. Banyak terdapat kupasan-kupasan aspal yang sepertinya karena tergerus oleh air hujan dan terlihat sudah lama tidak mengalami perbaikan. Padang Sidempuan dilalui dan berlanjut menuju Sipirok. Isi tangki solar sudah perlu mendapat perhatian. Di setiap SPBU yang dilalui tidak tersedia BBM. Terpampang papan tanda berbunyi ‘Bensin Habis’ dan ‘Solar Habis’. Kekhawatiran mulai menyelimuti perasaan karena jalan yang akan dilalui menuju dimana tak ditemukan lagi SPBU. Harapan pengisian hanya ada di Sipirok.  SPBU pertama dilalui dengan keadaan kosong stock. Harapan terakhir hanya tinggal pada satu lagi SPBU di pinggiran Sipirok. Perjalanan diteruskan dengan kondisi indicator menuju rest. Bila SPBU terakhir ini tidak tersedia BBM maka terpaksa harus mampir disitu untuk menunggu sampai pasokan BBM masuk. 

 Syukur-Alhamdulillah, SPBU terakhir ini tersedia stock. Kata petugas, baru saja selesai pengisian antrian panjang dan masih tersisa stock dan penulis mengisinya sampai full-tank seharga Rp 210.000 (46,66 liter). Odometer sudah menunjukkan perjalanan sejauh 1.872 Km. Menurut petugas pengisian, antrian panjang sudah terjadi tiga hari belakangan. Suasana pada sore saat itu sedang hujan deras, perjalanan dilanjutkan menuju kawasan rawan yang disebut Aek Latong. Kawasan ini sudah puluhan tahun tidak pernah dapat dilalui dengan nyaman melainkan harus bertaruh nyawa. 

Perjalanan Menyabung Nyawa 

Tiba di Aek Latong sore hari. Jalan berbatu licin karena sedang diguyur hujan. Semua kendaraan berjalan lambat dan hari-hati karena jalan berbatu yang tidak rata dan berkubang, licin, memang membahayakan. Sesekali harus berhenti untuk saling memberi jalan kepada kendaraan dari arah berlawanan. Tiba pada posisi kecuraman 45° sepanjang 100 meter memang harus ekstra hari-hati kalau tak mau nyawa melayang.  Truk yang ada didepan penulis dipersilahkan untuk turun lebih dahulu sementara penulis menunggu suasana aman untuk melintas.  Pada saat truk di depan telah sampai di dasar curaman maka penulis mulai melakukan penurunan dengan memilih-milih jalan terbaik diantara kubangan batu. 

Truk di depan sudah mencoba untuk naik pada pendakian dengan kemiringan sekitar 35° namun tak mampu dan melorot sampai ke dasar curaman untuk mencoba mengambil ancang-ancang. Setelah beberapakali mencoba, yang ke tujuh kalinya truk tersebut berhasil melaluinya. 

Memang penurunan di Aek Latong dari arah Sipirok lebih besar derajat kemiringannya oleh karenanya kendaraan yang dari arah Tarutung menuju Sipirok khususnya bus dan Truk lebih banyak menggunakan jasa Derek dari bulldozer beroda rantai baja, tentu dengan membayar jasa Derek sejumlah uang yang lumayan, kabarnya Rp 150.000. Sewaktu penulis menuruni curaman yang licin, terlihat dasar curaman dengan perasaan bagaikan sedang menuruninya dengan Roller Coaster yang pernah dinaiki penulis di Taman-Ria Jakarta dahulu, atau di Ancol, atau di Genting Island. Sungguh mengerikan! Sesampai di dasar curaman, setelah menunggu truk yang di depan sudah berhasil melewati tanjakannya, maka bersiap-siaplah mendapat giliran untuk naik. Sesaat berancang-ancang tak lupa penulis memintakan istri dan dua anak untuk berdoa memohon keselamatan. 

Pengalaman dan teknik mengemudi, baik praktek maupun teori menggunakan berbagai macam kendaraan sudah cukup membantu dan meyakinkan untuk berhasil sampai di puncak jalan. Pengalaman yang sama pernah pula dialami di Kawasan Bengkulu dekat Liwa. Dengan tenang Kia-Pregio dijalankan menggunakan persnelling satu. Tak perlu menekan pedal gas dengan dalam, yang akan mengakibatkan ban slip di batu-batu licin dan berkubang itu. Kecepatan lambat dipertahankan stabil sambil memilih arah jalan yang lebih baik. Sebaiknya arah kendaraan tidak langsung lurus menanjak tetapi sebaiknya diarahkan zikzak agar mendapat derajat kemiringan yang lebih kecil. Akhirnya  sampai di puncak jalan dan berhasil lolos dari taruhan nyawa. 

Korban Nyawa 

Beberapa jam setelah penulis dan keluarga berhasil melewati Cekungan Aek Latong, maka pada dini hari Minggu 25 Juli 2011 sekitar jam 02:00 WIB, sebuah Bus ALS (Antar Lintas Sumatera) dari arah Medan tujuan Bengkulu mengalami celaka di Aek Latong ini dan menelan korban meninggal 19 orang setelah tak sanggup menanjak dan tercebur kedalam danau. 

Diantara korban tewas dalam kecelakaan itu yang dikumpul dari beberapa media, disebutkan:

  1. Trisnawati (53) alamat Medan Tembung,
  2. Assifa Azzahra (7), warga Jalan Bayangkara Medan,
  3. Dahniar (56) warga Jalan Bayangkara Medan,
  4. Putri Balkis (15), warga Jalan Bunga Raya Medan Sunggal,
  5. Eka Santi (30), warga Jalan Bunga Raya Medan Sunggal,
  6. Maulida Asmar (45), warga Jalan Bunga Raya Medan Sunggal,
  7. Rohana (55), warga Bengkulu,
  8. Kumala Sari (11), warga Bengkulu,
  9. Husni Amalia (9) warga Bengkulu,
  10. Dedi (30) warga Padang,
  11. Desi Triviona (5) warga Lubuk Pakam,
  12. Popy Mustika Rani (12) warga Lubuk Pakam,
  13. Siti Rahayu (30) warga Lubuk Pakam,
  14. Dinda Partiwi (5) warga Bengkulu,
  15. Rizki Anugrah (5) warga Rao Sumbar,
  16. Desi Indriani (30), warga Pasar III Nedan Tembung,
  17. Yuni (9), warga Pasar III Medan Tembung,
  18. rendi (5), warga Pasar III Medan Tembung,
  19. Dimas (3), warga Pasar III Medan Tembung.

Sebelum peristiwa jatuhnya Bus ALS sudah terjadi juga kecelakaan yang sama akibat kondisi yang rusak parah tersebut. Disebutkan baru-baru ini sebuah Kijang Kapsul LGX diseruduk oleh Terios dari belakang hingga tercebur ke telaga, kemudian terios tersebut menabrak truk di depannya hingga terjun pula ke telaga, dan peristiwa ini menelan korban tewas juga. 

Korban Marga Satwa Vs Korban Marga Manusia 

Yang menjadi keheranan dan menjadi pertanyaan adalah sikap pemerintah di Daerah dan di Pusat mengenai Kondisi Aek Latong. Tak mungkin manusia-manusia modern tak mampu mengatasi kondisi alam demikian, tetapi kenyataannya akses jalan ini sudah sangat lama mengalami kerusakan sangat parah dan berbahaya.

 Aek Latong adalah satu-satunya akses yang menghubungkan secara langsung dua kabupaten yaitu Kabupaten Tapanuli Selatan dan Tapanuli Utara melalui jalan Negara di Lintas Tengah Sumatera. Kawasan ini disebut Luat Pahae menjadi tempat bermukimnya komunitas Batak di perbatasan antara Tapanuli Selatan dan Tapanuli Utara. 

Lumayan banyak manusia tersohor yang berasal dari Luat Pahae ini, sebut saja Menteri PU pertama Ir. Mananti Sitompul, Komponis Batak Siddik Dis Sitompul, bahkan orang-orang tenar bermarga Sitompul sekarang ini termasuk marga-marga lainnya ber-ibupertiwi (bonapasogit) di Luat Pahae ini sudah eksis kehidupannya di oerantauan. 

Di kawasan ini terdapat pula Hutan Lindung Marga Satwa yang pada dasarnya dapat dibuka sebagai pengalihan akses Aek Latong. Mungkin kebijakan para pengambil keputusan lebih mementingkan terjadinya Korban Marga Manusia dari pada Korban Marga Satwa? Karena dengan membuka akses baru sepanjang sekitar dua kilometer membelah Hutan Lindung Marga Satwa, persoalannya mungkin sudah dapat teratasi, bahkan alternative penyelesaian teknis lainnyapun tidak pernah dijalankan. 

Kehidupan masyarakat disepanjang Lintasan Jalan Negara di Luat Pahae ini sejak berpuluh tahun yang lalu tidak ada terlihat kemajuannya. Kondisi rumah-rumah penduduk yang lusuh, kotor, dan lapuk menunjukkan tidak adanya peningkatan ekonomi keluarga walau Indonesia sudah merdeka selama 66 tahun.  Harus berapa kali merdeka lagikah kawasan bagian dari Tanah Batak ini mendapat sentuhan memanusiakan manusia? 

Tidak jauh dari Aek Latong kearah Barat yang juga masih kawasan Luat Pahae di Kabupaten Tapanuli Utara, beberapa waktu yang lalu menjadi kawasan bencana yang merusakkan rumah-rumah secara massive. Dari data yang diperoleh, sebanyak 777 berbagai jenis bangunan mengalami kerusakan (parah, sedang, ringan). Sebelumnya disebutkan bahwa Pemprov Sumut kurang tanggap atas berita gempa bumi tersebut karena hanya berkekuatan 5,5 SR pada 14 Juni 2011 yang dianggap tidak begitu merusak secara umum dan kenyataannta cukup merusak sehingga kemudian Pemprov Sumut cukup aktif melaksanakan penanggulangannya. 

Salah satu alasan penulis untuk menelusuri Lintas Tengah Sumatera adalah untuk melihat dengan mata kepala sendiri apa dan bagaimana kondisi kawasan Pahae itu, paska terjadinya gempa bumi 14 Juni 2011 lalu. Setelah melintasi Jalan Lintas Negara di kawasan terjadinya gempa, memang tidak begitu terlihat adanya kerusakan-kerusakan pada bangunan di jalur lintas Jalan Negara tersebut, tetapi pada saat itu ada banyak kendaraan pribadi dan kendaraan pengawal pejabat yang sedang parkir, serta banyak kerumunan orang terutama di desa-desa diluar jalur Jalan Lintas Sumatera. Sepertinya sedang ada acara oleh para pejabat pemerintahan mengenai bencana alam itu. 

Lanjutan Perjalanan 

Penulis melanjutkan perjalanan menyusuri Jalan Lintas Sumatera itu menuju Kota Tarutung. Biasanya sesampainya di Simpang Empat Hutabarat perjalanan dapat dilanjutkan melalui Jalan Mayjen M. Junus Samosir yang hendak langsung menuju tempat peristirahatan di Pemandian Air Panas Sipoholon. Pada saat itu jalan Mayjen M. Junus Samosir tertutup untuk umum yang ternyata sudah lebih dua bulan Jalan Lintas Negara itu terputus karena ada gorong-gorong yang jebol sehingga semua kendaraan dialihkan melewati Pusat Kota Tarutung yang sudah sepi dari geliat keramaiannya.  Terlihat jalan alternative yang sejajar dengan aliran sungai Sigeaon sudah mengalami kerusakan yang lapisan permukaan jalannya sudah terkelupas sepanjang 4 Km hingga ke Pasar Sirongit Sipoholon. Air Sungai Sigeaon di sekitar Pasar Sirongit sampai ke Pemandian Air Panas Sipoholon terlihat kering sehingga dasar sungainya sudah kelihatan. 

Penulis mengejar tempat beristirahat berikutnya yaitu di Kota Balige sebagai tempat kelahiran istri tercinta. Dua SPBU di kota ini dikerumuni antrian panjang menunggu pasokan BBM yang belum masuk. Kia-Pregio diparkir di depan rumah mendiang mertua pada Odometer menunjuk angka 1.990 Km dan jam menunjukkan pukul 19:00 WIB pada hari Sabtu 25 Juni 2011. Diniatkan untuk beristirahat seharian di Kota Balige ini sambil mengunjungi sanak saudara. Keesokan harinya direncanakan untuk menuju Medan sejauh 240an Km lagi. Keesokan harinya Minggu 26 Juni 2011, perjalanan dilanjutkan menuju Kota Medan dengan taksiran waktu tempuh perjalanan enam jam. 

Sampai di Kota Medan sekitar pukul 19:00 WIB dan mengisi Solar full-tank Rp 165.000 sekitar satu Km jaraknya dari rumah orang tua tercinta di Kawasan Sukarame. Odometer menunjukkan angka 2.236 km. Perjalanan sejauh 2.236 Km ini hanya mengkonsumsi Solar senilai Rp 885.000 atau setara 196,67 liter saja, atau setara hampir 11,37 Km per liter. 

Kok Bisa Pulau Sumatera Langka BBM 

Secara total Pulau Sumatera mengalami kelangkaan BBM. Lima Propinsi yang dilalui oleh penulis melalui Jalur Lintas Tengah Pulau Sumatera (Jakarta-Medan) mengalami kelangkaan BBM diantaranya Propinsi Lampung, Propinsi Sumatera Selatan, Peopinsi Jambi, Peopinsi Sumatera Barat, dan Propinsi Sumatera Utara. 

Apabila memang ada pengalokasian porsi atau jatah kebutuhan BBM di setiap Propinsi tersebut dan terjadi pula kekurangan pasokan kebutuhan yang mengakibatkan terjadinya antrian panjang kendaraan-kendaraan yang umumnya kebanyakan adalah kendaraan niaga seperti truk dan pickup, berarti ada peningkatan kegiatan ekonomi di masyarakat. Tetapi pejabat perminyakan mungkin tidak memandangnya ke arah itu, melainkan hanya terfokus kepada adanya penyelundupan BBM? 

Apabila ada diissukan oleh pengelola BBM Nasional tentang penimbunan dan penyelundupan BBM, berapa sih jumlahnya? Besarkah pesentasinya dibanding dengan kebutuhan yang sebenarnya oleh masyarakat? Terkadang terlihat kebijakan selalu terfokus untuk menanggunangi masalah kecil dan melupakan persoalan yang lebih besar tentang meningkatnya kebutuhan BBM oleh masyarakat. 

Ada kekhawatiran bahwa apabila kelangkaan pasokan BBM ini berlanjut berlama-lama maka akan berpengaruh kepada kegiatan perekonomian masyarakat khususnya di Pulau Sumatera. Mungkin terjadi pula kelangkaan ini di daerah lain di luar Pulau Sumatera, tetapi objek pemantauan untuk sementara ini yang terlihat oleh mata kepala sendiri adalah di Pulau Sumatera di sepanjang Jalan Lintas Tengah Pulau Sumatera dengan melakukan perjalanan dari Jakarta sampai ke Medan. Boleh jadi aka nada kelumpuhan perekonomian di Sumatera. 

Indonesia sebenarnya merupakan kawasan pengusahaan minyak bumi tertua didunia setelah pengeboran pertama minyak bumi dilakukan di Negara Bagian Pensylvania Amerika Serikat di tahun 1859. Kawasan lading minyak di Pulau Sumatera sudah ditemukan di Palembang tahun 1858, di Muara Enim tahun 1864, walaupun pada saat itu belum dilakukan pengeborannya, bahkan sejarah purba Kerajaan Sriwijaya sudah menggunakan bahan minyak bumi untuk bola-bola api dan melemparkannya dengan pelontar dalam peperangan di laut. Tercatat juga bahwa pada tahun 972 utusan Kerajaan Sriwijaya berkunjung ke Cina membawa kendi-kendi berisi bahan minyak bumi yang pada masa itu digunakan sebagai bahan obat-obatan utamanya untuk kulit dan pencegahan serangan myamuk. 

Pengusahaan minyak bumi pertama juga pertamakali didirikan di Sumatera utara, tepatnya di Desa Telaga Said, Kecamatan Sei Lepan, Kabupaten Langkat, Propinsi Sumatera Utara, sekitar 110 Km arah Barat Laut Kota Medan. Tahun 1883 Sultan Langkat memberikan konsesi untuk eksplorasi minyak bumi kepada Aeilko Jans Zijlker yang berlokasi di Desa Telagasari.

Tahun 1884 dimulainya pengeboran dan kilang pengolahan minyak (refinery) dibangun di Pangkalan Brandan dan selesai tahun 1892 untuk produksi massal atas pengelolaan Royal Dutch Petroleum Company (NV Koninklijke Nederlandsche Petroleum Maatschappij). Kemudian berdiri lagi perusahaan Nederlandsche Indische Exploratie Maatschappij pada tahun 1895 untuk daerah konsesi di Jambi, Sumatera–Palembang Petroleum Maatschappij tahun 1897 dibentuk untuk Kilang Bayung Lincir, Muara Enim Petroleum Maatschappij untuk Kilang Plaju dan pemipaannya dari Muara Enim, Tahun 1912 perusahaan swasta Standard Oil of New Jersey (SONJ), mendirikan Nederlansche Koloniale Petroleum Maatschappij (NKPM) yang mampu memproduksi 20.000 barrel per hari dari sumur Talang Akar-Lahat dan kilangnya di Sungai Garong Sumatera Selatan, Pada tahun 1924 Standard Oil of California (Socal) mendirikan Nederlandsche Pasific Petroleum Maatschappij (NPPM) untuk pengeboran Blok Semangga Pekan Baru dan produksi yang besar diperoleh dari sumur Minas-1 di tahun 1944. 

Sejarah panjang perminyakan Pulau Sumatera tidak seharusnya dilupakan sehingga kegiatan perekonomian yang berkaitan dengan penggunaan BBM harus dihambat dengan kebijakan pengetatan pasokan BBM ke seluruh SPBU di Pulau Sumatera. Apakah ini bukan sebuah kebijakan? Kalau bukan, mengapa serempak seluruh Pulau Sumatera kekurangan pasokan? Memang tragis apabilah daerah penghasil minyak harus kekurangan minyak seperti terdengar pula adanya kekurangan pasokan di daerah Kalimantan.

Disebutkan bahwa di Indonesia dari Sabang sampai Merauke terdapat 60 cekungan yang berpotensi mengandung minyak bumi dan gas, dan baru 38 cekungan yang sedang dieksplorasi sementara 22 cekungan lainnya belum disentuh. Cadangan minyak bumi Indonesia diperkirakan sebesar 7,9 Million Stock Tank Barrels (MMSTB). Sementara sasaran jangka panjang produksi minyak bumi Indonesia (2006-2025) ditargetkan mampu menghasilkan 1,4 Juta BOPD (Barrel of Oil Per Day) dan produksi saat ini kira-kira sedikit dibawah 1 juta BOPD.

Kilang pengolahan yang tersedia di Indonesia sebenarnya mampu mengolah seluruh produksi minyak mentah yang dihasilkan, tetapi minyak mentah Indonesia tetap saja dieksport sebagai satu dari sepuluh komoditas primadona eksport yang menguntungkan. Mengapa demikian? Ramuan-ramuan bahasa para ahli dan pemegang kebijakan yang mampu menjawabnya.  

Kilang tua pertama di Pangkalan Brandan Sumatera Utara yang berkapasitas 5 ribu barrel sudah ditutup sejak tahun 2007. Kilang yang masih beroperasi seperti Kilang Dumai 127 ribu barel/hari, Kilang Sungai Pakning 50 ribu barel/hari, Kilang Plaju 145 ribu barel/hari,  Kilang Cilacap 348 ribu barel/hari, Kilang Balikpapan 266 ribu barel/hari, Kilang Balongan 125 ribu barel/hari, Kilang Cepu 5 ribu barel/hari, Kilang Sorong 10 ribu barel/hari, sehingga total kemampuannya adalah lebih dari 1 juta barrel  per hari, yang semuanya dikelola tunggal oleh Pertamina.

Bila kemampuan Kilang Minyak di Indonesia setara dengan jumlah produksi minyak mentah, lalu ekport minyak mentah juga dilakukan, jadi apa yang sedang diproduksi di Kilang-kilang Indonesia itu? Tentu saja mereka mengerjakan pengilangan minyak mentah yang diimport oleh Indonesia dari Negara lain. Mengapa harus demikian? Banyak definisi dan formula yang mampu dijelaskan oleh Pertamina dan kalangan terkait.

Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mengungkapkan bahwa sepanjang 1 Januari hingga 27 Maret 2011, sebanyak 24 provinsi telah mengkonsumsi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis premium melebihi kuota yang ditetapkan ABPN 2011. “Untuk itu, kami akan memperketat pengawasan premium supaya tidak lagi melebihi kuota,” demikian kata salah seorang anggota BPH MIGAS kepada wartawan di Jakarta pada Kamis 31 Maret 2011.

Ada 10 dari 24 provinsi dengan tingkat konsumsi BBM bersubsidi jenis premium tertinggi melebihi batas kouta yang ada, diantaranya Sumatera Utara 106,1%, Sumatera Barat 107,8%, Jambi 107,7%, Sumatera Selatan 106,5%, Kepulauan Riau 104,7%, Bangka Belitung 109,7%, Kalimantan Tengah 105,9%, Banten 104,4%, Jakarta 107,4%,  Jawa Barat 104%.

Melihat kenaikan tingkat konsumsi BBM itu sebenarnya mengindikasikan adanya peningkatan kegiatan ekonomi rakyat di kawasan tersebut. Lalu apakah peningkatan kegiatan itu bukannya yang harus dipacu menuju peningkatan kesejahteraan masyarakat? Mengapa harus mewujutkan semacam hukuman sebagaimana dalam Kalimat yang disebutkan oleh anggota BPH MIGAS itu? inilah yang menjadi kebijakan sehingga terjadinya kelangkaan BBM di seluruh Pulau Sumatera dan dengan sendirinya kegiatan ekonomi yang meningkat harus dipaksa untuk ditekan agar kemiskinan tetap terjadi disana.  Enam Daerah dari 10 yang disebutkan itu memang propinsi yang ada di Pulau Sumatera, lalu mengapa tidak terjadi kelangkaan pasokan untuk Banten, Jakarta, dan Jawa Barat? Sementara antrian di SPBU disepanjang Lintas Tengah Sumatera yang di pantau 90%nya adalah kendaraan truk dan pickup yang memang digunakan untuk kegiatan ekonomi.

 

UUD, Bahasa Setan atau Bahasa Tuhan?

Mungkin semua rakyat Indonesia akan mengatakan bersyukur bahwa semua daerah, wilayah, etnis merasa bersatu sebagai wujud dari Kemerdekaan yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 dan bernaung pada Pancasila dan UUD- 1945. Tetapi mungkin saja saat ini ada yang mengatakan dalam hatinya sebaiknya tidak usah merdeka kalau pengelolaan Negara ini tidak lagi tergambar dalam naungan Pancasila dan UUD-1945.

Negara ini sudah terbentuk sejak Proklamasi Kemerdekaan selama 66 tahun. Mungkin banyak pendapat tentang kemajuan Negara, Bangsa, Rakyat yang menjadi argumentative bila dibandingkan dengan kemajuan Negara-negara lain. Sejarah pengelolaan Negara ini telah banyak mengalami pergolakan yang di berbagai sisi kehidupan berbangsa, dan salah satunya adalah kebijakan untuk merubah UUD-1945 menjadi UUD-2002 untuk beberapa pasalnya yang menyangkut hajat hidup orang banyak (rakyat).

Mari kita coba membandingkan Pasal-33 antara UUD-1945 dengan UUD-2002:

Pasal 33 (UUD-1945)

  1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
  2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
  3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Pasal 33 (UUD-2002)

  1. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
  2. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.

UUD-1945 Pasal 33 Ayat 2-3, sudah sangat jelas terdefinisi yang berorientasi kepada kemakmuran rakyat. Apa yang tidak jelas pada ayat-ayat itu? Ayat-1 & Ayat-2 itu sudah mengandung makna dan pengartian yang sangat jelas menjadi pegangan bagi rakyat bahwa mereka memiliki hak atas penyelenggaraan Negara dan Ibu Pertiwinya. Mengapa harus diganti dengan hanya Ayat-2 Pasal 33 UUD-2002, dengan kalimat yang sama sekali tidak mengandung kepastian sebagai pegangan rakyat.

Merujuk kepada UUD-1945 Pasal 33 Ayat-2 yang berkaitan dengan kelangkaan BBM bahwa siapapun rakyat itu, apakah masyarakat Pulau Sumatera atau Kalimantan berhak mempertanyakan Pertamina sebagai Perusahaan Milik Negara yang satu-satunya sebagai pengelola ketersediaan BBM untuk digunakan oleh masyarakat Pulau Sumatera dan daerah lainnya yang mengalami kelangkaan BBM.

Merujuk kepada UUD-1945 Pasal 33 Ayat-3 yang berkaitan dengan kelangkaan BBM di Sumatera dan daerah lainnya, bahwa Pulau Sumatera masih termasuk penghasil minyak bumi yang cukup besar untuk Negara ini, mengapa BBM harus langka keberadaannya di pulau ini? Apakah ini yang disebut ‘Pagar Makan Tanaman?’

Tak ada yang dapat dirujukkan kepada UUD-2002 Pasal 33 Ayat-2 berkaitan dengan kelangkaan BBM di Pulau Sumatera. Terlalu bertele-tele, memakan waktu yang lama, dan menyulitkan untuk mencari-cari undang-undang mana yang melindungi masyarakat Pulau Sumatera berkaitan dengan tuntutan kebutuhan BBM sebagai energy penggerak kehidupan mereka. Yang lebih mengusik sanubari adalah adanya pemutarbalikan kedudukan UUD dengan UU lainnya. Mengapa UUD harus merujuk kepada UU dibawahnya? Apakah UU menjadi lebih tinggi dari UUD?

Kita memang harus terus mencari dan mencari, mana bahasa tuhan dan mana bahasa setan! (mph)

Butuh Peta Lintas Sumatra oleh Ir. Mulyadi, disini>>>